Beberapa bencana besar di negeri ini beberapa waktu lalu membuat masyarakat merasa cemas. Dimulai dari meletusnya gunung merapi dan gunung bromo mebuat masyarakat mengandalkan media cetak maupun elektronik untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka tentang bencana ini. Seringkali masyarakat merasa jauh lebih cemas saat menerima siaran televisi mengenai bencana tersebut. Seorang reporter memberitakan kejadianya begitu dahsyat hingga abu vulkanik mengenai beberapa kecamatan di wilayah tersebut. Namun seringkali media tidak memberikan kejelasan data secara pasti tentang kecamatan yang terkena dampaknya. Masyarakat seakan dibuat menjadi hysteria kabar-kabar tersebut. Beberapa petani meninggalkan sawah dan ternaknya untuk menyelamatkan diri. Namun apa yang terjadi tidak sepenuhnya benar, alih-alih ingin menyelamatkan diri dari bencana malah sawah dan ternak mereka yang di curi orang yang memanfaatkan keadaan seperti ini. Akibatnya banyak petani di beberapa kecamatan sekitar gunung merapi yang sebenarnya tidak terkena dampak bencana merasa rugi, pendapatan mereka menurun drastis akibat pemberitaan yang tidak jelas. Masyarakat luas tidak mau membeli hasil panen mereka karena takut tercemar oleh abu vulkanik. Kita bertanya-tanya apakah yang sebenarnya terjadi ? mengapa masyarakat menyalahkan media akibat kerugian mereka ? apakah yang diberitakan oleh media adalah apa yang sebenarnya terjadi ?.
Media massa hanya mengkonstruksi apa yang terjadi dilapangan. Selebihnya adalah tugas seorang wartawan mengambil fakta tersebut di tempat kejadian. Wartawan menggunakan macam-macam alat sperti kamera atau langsung menulisnya sendiri untuk menangkap peristiwa tersebut. Namun, apa yang ditulis oleh seorang wartawan tergantung pada gaya penulisan mereka (motivasi). Hal ini dipengaruhi oleh motivasi-motivasi yang mereka miliki, entah itu karena memang tanggung jawab, atau karena untuk penghasilan. Motivasi wartawan dipengaruhi pula oleh industri media tempat mereka bekerja, mereka dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan berita sesuai dengan standar redaksi pada tempat mereka bekerja. Inilah yang kemudian membuat para wartawan memutar otak untuk membuat tulisan yang “bagus” agar bisa diterima di meja redaksi. Selanjutnya redaksi mengkonstruksi berita tersebut dengan menambahkan beberapa materi yang tidak sepenuhnya benar untuk memenuhi kepentingan pemberitaan agar bisa dikatakan teraktual. Yang diberitakan oleh media memang sebuah realita, bencana itu memang terjadi. Namun realita ini merupakan realita yang telah dicampuri kepentingan popularitas institusi mereka. Akibatnya, masyarakat yang pasif seperti daerah pedesaan menjadi percaya tanpa mengetahui hal semacam ini.
Contoh lain misalnya terjadi sebuah kebakaran pabrik home industry disekitar perumahan padat penduduk. Wartawan bisa saja menulisnya kebakaranya sangat hebat hingga menghanguskan puluhan rumah disekitarnya. Apa yang disebut puluhan belum tentu angka kelipatan sepuluh. Fakta yang sebenarnya adalah sepuluh rumah, dan wartawan menulisnya dengan kalimat yang dilebih-lebihkan sesuai dengan perintah dari institusinya agar bisa diterima sehingga membuat publik merasakan kejadian dramatis. Ini semua dilatar belakangi oleh tuntutan kerja wartawanya,visi-misi media tempat mereka bekerja.
Dalam komunikasi massa fenomena seperti ini ada dalam teori agenda setting. Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.
Lalu bagaimana solusi agar masyarakat tidak dibuat bingung oleh media ? salah satunya adalah dengan selektif berita yang ada. Disamping itu jangan mudah percaya 100% dengan setiap berita yang ada. Kebenaran pers dalam menyampaikan berita 60% benar dan 40% merupakan tambahan dari institusi media untuk mepopulerkan program beritanya. Kita perlu menjadi aktif dengan mempelajari fakta-fakta lain seputar dunia media massa agar mengetahui kebenaran sebuah berita. Teori agenda setting mengajarkan kita bagaimana media dapat membentuk opini publik terhadap suatu peristiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar